Jika saja kita
memisalkan pendidikan itu sebuah pesawat terbang sepertinya kotak hitam
itu ada di kelas. Sungguh sangat kompleks permasalahan yang dialami oleh dunia pendidikan kita mulai dari yang sederhana hingga yang rumit.
Berbagai saran, arahan, petuah dan lain yang sejenis dengan kata tersebut, guna mengarahkan setiap orang untuk tetap berbuat dan bertindak jujur (siddiq). Sepertinya banyak contoh yang dapat kita jadikan rujukan akan betapa pentingya kita menerapkan kejujuran itu. Kata jujur itu sudah tidak asing bagi kita tetapi terkadang dia dikorbankan dan ditukar dengan kebalikannya demi kepentingan pelaku untuk sesuatu yang bersifat sementara dan semu.
Sebagai ilustrasi dari apa yang di ungkap di atas, dalam dunia pendidikan misalnya, ada peserta didik memaksa diri untuk berbuat tidak jujur lewat kegiatan mencontek, hanya mengharafkan nilai baik yang belum tentu itu dapat diraihnya, padahal kegiatan mencontek itu telah diketahui tidak benar. Selanjutnya ada peserta didik tidak berani mengatakan dirinya belum mengerti dari penjelasan guru, hanya karena malu sama temannya, tidak berani mengatakan dirinya bisa hanya karena malu pada orang lain, tidak berani mengatakan "maafkan saya bapak saya belum bisa" tolong bantu saya hanya, karena minder sama temannya, tidak berani mencari tau pada temannya lantaran takut nanti dikatakan tidak bisa dan lalinnya.
Karena rasa malu yang menghantui mereka maka, sebagai jalan penyelesainnya terkadang ada yang mengambil jalan pintas dengan menukar perbuatan yang benar oleh perbuatan yang tidak benar. Tidak terbantahkan oleh kita bahwa orang yang bertindak jujur akan berberilaku lebih santun, berani berkata apa adanya,tidak memiliki beban mental, kata para muballig, kiyai, tuan guru, pendeta, uskup, pedande, bante dan juga tersebar di buku agama, buku pelajaran, buku psikologi dan lainya.
Jika seseorang melakukan ketidakjujuran hanya untuk memperoleh pembenaran sesaat, yang belum tentu dapat dibenarkan oleh orang lain, tentu telah memberi ruang prilaku tersebut pada dirinya, yang sedianya telah terisi oleh perilaku positip dan diganti oleh prilaku lawannya. Prilaku yang pengganti seperti: adanya perasaan bersalah, membohongi diri sendiri, membohongi orang lain, memberikan data palsu dan tidak berani berkata apa adanya dan lainnya. Jika perilaku itu benar-benar terjadi pada anak didik kita dapat kita katakan bahwa sungguh sangat mahal sekali harga ketidak jujuran itu samapai sampai kita menukar yang baik menjadi tidak baik, menukar rasa aman menjadi tidak aman, menukar percaya diri menjadi tidak percaya diri, menukar kesehatan menjadai tidak sehat, menukar harga diri dengan jawaban yang belum tentu benar dan lainnya.
Perilaku ketidakjujuran yang ditampilkan oleh sebagian peserta didik tentu tidak berdiri sendiri. Ada hal lain yang ikut mendampingi kegitan itu misalnya; dari pendidik ketika menjadi pengawas ujian, terkadang bukan mengawasi peserta yang sedang ujian tetapi mengawasi halaman sekolah. Tau peserta didik melakukan kesalahan umpamanya mencontek dibiarkan seolah-olah tidak tau. Disamping itu jika ada peserta didik mendapatkan nilai rendah terkadang pendidik mengarahkan atau membidikkan kesalahan itu seppenuhnya kepada peserta didik,jarang sekali mengarahkan kesalahan itu pada diri sendiri. Pendidik yang bijak akan mengatakan "maafkan saya nak bapak belum mampu mengantarkan ananda untuk menguasai pelajaran bapak", meskipun pada intinya kita akan mengatakan belajar lebih giat lagi. Selain itu pula rasa ketakutan yang berlebihan dari beberapa pendidik yang menghawatirkan ketidak mampuan peserta didik yang berlebihan, sehingga terpaksa turun tangan ikut membantu yang semestinya diselesain peserta didik.
Jika peserta didik tidak mampu kita obati dari penyakit tidak jujur(siddiq) itu tentu sangat sulit akan tercapainya penanaman karakter bangsa dan karakter bangsa itu hanya ada di angan-angan saja atau bahkan adanya di kertas saja. Ikuti publikasi berikutnya SATE MLE dan kejujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar